Masjid Agung Baitul Hakim
Masjid Agung Baitul Hakim menjadi Masjid paling besar di daerah Kota Madiun, sesuai dengan kegunaan nya sebagai tempat ibadah pusat kota yang cukup besar. Lokasi Masjid Agung Baitul Hakim sangat strategis, karena fungsinya sebagai sebuah masjid agung atau masjid jami di Madiun. Bangunan Masjid ini berdiri kokoh di barat alun-alun kota madiun, tepat dijantung kota tersebut.
Bangunan Masjid Baitul Hakim mempunyai beberapa ciri khas, yaitu mempunyai 5 kubah besar di bagian atap masjid ruang utama dan serambi, kubah tersebut dibalut dengan warna biru tua dan biru laut, serta berbentuk mozaik indah. Kubah yang besar ditempatkan tepat diatas ruang utama sholat, kemudian 4 kubah berukuran kecil dipasang di beberapa sudut masjid.
Terdapat 4 menara yang menjulang tinggi juga dipasang di keempat sudut masjid, tepatnya disamping bangunan kubah kecil. Sebuah menara yang tinggi ditempatkan dibagian utara pintu masuk masjid, dan digunakan sebagai tempat pengeras suara, tinggi menara masjid tersebut hingga 25 meter.
Terdapat beberapa Riwayat yang menceritakan tentang pembangunan masjid Agung Baitul Hakim ini, namun pendapat yang paling mendekati kebenaran dan dipercaya oleh masyarakat sekitar yaitu bangunan Masjid Agung Baitul Hakim didirikan pada tahun 1830 Masehi, oleh pimpinan Ronggo Jumeno pada saat masa penjajahan Belanda.
Riwayat Pembangunan Masjid Agung Baitul Hakim
Pemugaran masjid secara keseluruhan atau disebut dengan pembangunan total dilaksanakan pada tahun 2002 lalu, dengan pemasangan tiang penyangga seribu. Bukan berarti jumlahnya yang benar 1.000 tiang penyangga, namun ada banyak sekali tiang penyangga struktur bangunan yang sengaja dibangun untuk memperkokoh bangunan dan memperindahnya.
Walau disebut dengan Tiang Seribu, namun bangunan utamanya tetap memiliki 4 soko guru (tiang pilar) utama yang masih asli terbuat dari Kayu Jati Asli. 4 tiang penyangga ini sekaligus menjadi sebuah ciri khas masjid tua yang ada di Nusantara, pada masa penjajahan Belanda.
Renovasi dari tahun 2002 tersebut membutuhkan waktu hingga 9 tahun untuk menyelesaikan desain sempurnanya. Baru pada tahun 2011 renovasi rampung dilakukan dan menghasilkan sebuah masjid yang sangat megah dengan dominasi warna biru. Kemegahan masjid ini terlihat dari warna mencolok yang digunakan untuk digunakan pada arsitektur bangunan masjid.
Pembangunan Masjid Jami Baitul Hakim ini masih tetap mempertahankan bentuk asli bangunan asal masjid. Namun untuk bagian luarnya hampir keseluruhan sudah memiliki desain yang modern. 4 Soko Guru yang masih dipertahankan merupakan salah satu contoh tersebut. Selain itu, atap berbentuk Joglo (Limas) pada serambi makmum juga tetap dipertahankan sebagai bentuk penghormatan kepada budaya khas jawa.
Terdapat empat penyangga yang besar, tetapi masih ada 16 pilar kecil berbahan kayu jati asli yang masih dipertahankan sampai saat ini. Semua tiang penyangga masih utuh dan masih dalam kondisi baik, sehingga tidak perlu dikhawatirkan kekuatannya. Ada yang unik dari semua tiang penyangga dari kayu jati ini, sudut pemasangannya tidaklah lurus tegak, tetapi miring sekitar 5 – 8 derajat. Pilar-pilar tersebut memang sedari awal masjid ini dibangun sudah dibuat miring beberapa derajat, terlepas dari tujuan yang sebenarnya.
Arsitektur Bangunan Masjid
Masjid Agung Baitul Hakim ini juga mengadopsi budaya arsitektur Eropa dan Timur Tengah. Yang di aplikasikan pada bagian ornamen masjid dasarnya, kemudian bentuk lantai, menara dan kubahnya yang menganut arsitektur khas Eropa dan Timur Tengah. Tentu saja dengan perpaduan gaya yang berbeda-beda tersebut menghasilkan sebuah bangunan masjid yang ramai, ada nuansa klasik, namun juga ada nuansa modern, serta nuansa kearab-araban.