Riwayat Masjid Agung Pondok Tinggi
Masjid Agung Pondok Tinggi dibuat dengan bergotong-royong oleh masyarakat Desa Pondok Tinggi, Kota Sungai Penuh, Propinsi Jambi pada tahun 1874 M. Menurut penduduk ditempat, pembangunan diawali pada Rabu, 1 Juni 1874, serta usai pada 1902.
Saat itu masyarakat Sungai Penuh tidak lebih dari 90 Kepala keluarga saja. Untuk lakukan pembangunan masjid, sejumlah besar masyarakat baik lelaki serta wanita bergotong-royong menghimpun kayu. Untuk tingkatkan semangat kerja, masyarakat dusun pun membuat pergelaran beberapa seni pertunjukan tradisionil Kerinci, salah satunya pencak silat.
Sesudah kayu terkumpul serta fondasi sukses dibuat, masyarakat lalu membuat musyawarah untuk membuat panitia pelaksana pembangunan masjid. Dalam musyawarah itu, disetujui empat orang pelaksana pokok, yakni Bapak Rukun (Rio Mandaro), Bapak Hasip (Rio Pati), Bapak Timah Patuh, serta Haji Rajo Saleh (Rio Tumenggung). Sesaat untuk arsitektur bangunan dipercayakan pada M. Contek seseorang masyarakat Dusun Pondok Tinggi. Untuk kerjakan perancangan itu, diambil 12 tukang bangunan yang dipandang mempunyai ketrampilan oke.
Ke 12 orang tukang bangunan itu bekerja menolong mengukur, memotong, serta memisah beberapa elemen bangunan. Selain itu, penduduk ditempat ikut serta menolong pembangunan dengan bergotong royong, khususnya dalam menyiapkan beberapa bahan untuk kepentingan pembangunan. Pembangunan Masjid Agung Pondok Tinggi baru usai dengan permanen pada tahun 1902.
Kata “Rio” yang pada nama beberapa tokoh penduduk itu kemungkinan yang disebut ialah “Krio” titel tokoh penduduk Kesultanan Palembang satu tingkat kepala Kampung, semenjak waktu Sultan Mahmud Badaruddin II, yang mengacu pada buku ketatanegaraan kesultanan palembang yang berjudul “Simbur Cahaya”. Atau peluang pun mempunyai akar kata yang sama juga dengan itu.
Narasi yang berkembang di penduduk pun mengatakan, pembangunan masjid itu dengan diawali pesta keramaian saat tujuh hari tujuh malam dengan menyembelih 12 kerbau. Tidak hanya didatangi semua masyarakat dusun, pesta keramaian pun didatangi seseorang pangeran pemangku dari Jambi. Awalannya dinding masjid terbuat dari anyaman bambu serta pada tahun 1890, oleh penduduk ditempat, dinding yang terbuat dari anyaman bambu itu ditukar dengan kayu yang diukir dengan indah.
Arsitektural Masjid Agung Pondok Tinggi
Arsitekur Masjid Agung Pondok Tinggi dibuat ikuti mode arsitektur masjid asli Nusantara dengan ciri atap limas tumpang tiga, sisi atasnya dihiasi dengan simbol bulan sabit serta bintang. Buat penduduk ditempat, tiga tingkat atap itu terkait dengan 3 filosofi hidup yang mereka lakukan dalam kehidupan keseharian, yakni bapucak satu (berpucuk satu), berempe Jurai (berjurai empat), serta batingkat tigae (bertingkat tiga).
Berpucuk satu melambangkan jika penduduk ditempat memiliki satu kepala kebiasaan serta beriman pada Tuhan Yang Esa (satu); berjurai empat, simbol dari 4 jurai yang ada di Pondok Tinggi tempat masjid dibuat; serta batingkat tiga adalah simbolisasi dari keteguhan penduduk dalam mengawasi 3 pusaka yang sudah diwariskan dengan turun-temurun, yakni pusaka tegenai, pusaka ninik mamak, serta pusaka depati.
Masjid Agung Pondok Tinggi didukung 36 tiang penyangga. Ke 36 tiang itu dibagi jadi 3 grup tiang, yakni tiang panjang sembilan (tiang tuo), tiang panjang limau (panjang lima), serta tiang panjang duea (tiang panjang dua). Tiang-tiang itu diatur sesuai ukuran, formasi, serta letaknya semasing.
Tiang panjang sembilan (tiang tuo) sekitar empat buah teratur membuat sisi empat yang terdapat di ruang sisi dalam. Tiang tuo itu dikasih paku emas untuk menampik bala, serta pada puncaknya dikasih kain berwarna merah serta putih menjadi simbol kemuliaan.Untuk tiang panjang limau (panjang lima) sekitar 8 buah teratur membuat sisi empat serta tiang-tiang ini terdapat di ruang sisi tengah. Selain itu, tiang panjang duea (panjang dua) sekitar 24 buah teratur membuat sisi empat serta terdapat di ruang sisi luar.