Masjid Puro Paku Alam
Masjid Puro Paku Alam berada di Kauman, Kecamatan Paku Alam kota Yogyakarta, dua km mengarah timur laut dari Keraton Mataram Yogyakarta. Kehadiran masjid ini tidak terlepas dari petunjuk putra pendiri Keraton Yogyakarta (Sri Sultan Hamengkubowono I) yang bernama BRM Surjadi alias Sri Paku Alam I pada KRT Natadiningrat atau Sri Paku Alam II.
Karena itu selesai Perang Diponegoro, Sri Paduka Paku Alam II pada tahun 1831M membangun masjid yang terdapat di pojok barat daya Puro Paku Alam. Pendirian masjid diikuti adanya batu catat yang sekarang masih tetap bisa dibaca pada dinding serambi masjid. Prasasti itu dicatat dalam huruf Arab serta huruf Jawa.
Saat Pangeran Natakusuma alias Paku Alam I meninggal dunia tahun 1829 M, dia ditukar oleh Sri Paku Alam II. Seterusnya, Sri Paku Alam II berkuasa menjadi adipati merdeka di Kadipaten Paku Alam serta Kadipaten Karang Kemuning (Brosot, Adikarto), sekarang Kabupaten Kulon Progo. Sedang, Kadipaten Paku Alam sekarang jadi Kecamatan Paku Alam, kota Yogyakarta.
Pada tanggal 28 April 1831, Belanda membuat kesepakatan pada Sri Paku Alam II mengenai lokasi kekuasaannya menukar Sri Paku Alam I pada tanah seluas 4000 cacah. Sesuai kesepakatan politik tanggal 17 Maret 1813, kekuasaannya mencakup Kadipaten Paku Alam serta Adikarto. Sebelum jadi adipati, KRT Natadiningrat bersama dengan sang bapak (Paku Alam I) jadi tawanan Daendels atas kehendak Sri Sultan HB II.
Sri Paku Alam II yang nama mudanya KRT Natadiningrat di waktu Sri Sultan HB II menjabat Kepala Sekretariat Keraton Yogyakarta. Dia naik takta 4 Januari 1830 serta meninggal dunia 13 Juli 1858. Makamnya di Pesarean Hastana Kotagede Yogyakarta.
Bahkan juga, KPH Suryaningrat, panggilan Sri Paku Alam II, saat masih tetap muda menj adi pendamping setia ay ahnya. Dia seseorang seniman yang ulung. Sesudah Perang Diponegoro, Paku Alam membuahkan kaiya seni. Bahkan juga, dia memperkenalkan seni musik serta drama terbuka di keraton serta warga Yogyakarta, sampai Sri Sultan HB V mengirim beberapa sentana untuk belajar tembang kawi di Paku Alam.
Di samping membangun serta pimpin jamaah Masjid Puro Paku, KGP Adipati Paku Alam II, yang lahir 25 Juni 1786, menulis sastra Serat Baratayuda serta Serat Dewarud yang berisi penjelasan dua kalimat syahadat serta karakter Allah yang dua puluh. Dia membuat tari Beksan Bandayuda, Ladrang, Inum, Lawung Ageng, Gadung Mlati, serta Puspa Wama.
Sri Paduka Paku Alam II menitahkan, “Barangsiapa yang akan masuk Masjid Puro Paku Alam, aku berharap dengan begitu supaya membersihkan diri atau bersuci sampai bersih, supaya ikut mengawasi kebersihan dengan menyapu serambi masjid serta halamannya.”
Arsitektur Bangunan Masjid
Masjid ini berupa sisi empat, ruangannya cuma untuk shalat saja. Sedang, serambi dahulunya masih tetap sempit, lalu ditambah serambi samping serta sekarang sudah diperluas dengan halaman masjid yang jadikan serambi. Dahulunya, di muka serta di samping masjid itu tergenangi blumbangan yang aimya melimpah. Tetapi, sekarang blumbangan parit itu sudah diratakan untuk bangunan serta lantai halaman.
Di samping pengimaman (mihrab), ada krepyak, yakni alat pelindung Sri Paduka Paku Alam bila turut shalat berjamaah di masjid. Tetapi, sekarang krepyak itu bisa dipakai oleh siapapun yang ingin shalat di dalamnya. Masjid diperbaiki pada saat Sri Paku Alam VII serta VEI. Prasasti ditempatkan di samping utara, selatan serta depan pintu masuk timur, tertulis huruf Arab Jawa yang tunjukkan waktu berdiri, pendiri masjid, ataupun waktu perbaikannya.
Mengenai bunyi prasasti itu dalam bahasa Indonesia yaitu peringatan pada saat berdirinya masjid Sri Paduka bertepatan dengan hari Ahad Pon waktu tunjukkan jam 8 tanggal 2 Syawal, tahun Dal, dikasih sinyal sengkalan Pandhita Obah Sabdo Tunggal (1767 Saka atau 1244 Hijriah), Wangsa 6, simbol Klawu Duhut Windu Sengsara. Kawada yang membangun jamaah serta masjid ialah Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Rider Paku Alam II. Yang menolong kerjakan sampai usai ialah Patih Raden Riyo Natareja serta Mas Penghulu K.H. Mustanal. Mengenai mustaka masjid berupa mahkota.
Masjid dicat kuning, di dalamnya ada mimbar masjid Keraton, ada tujuh kipas angin serta tiga lampu gantung yang indah. Induk masjid seluas 144 m2, disangga oleh 12 tiang kayu jati serta di pojok barat ada kamar gudang (penjaga masjid), memiliki empat serambi seluas 438 m2.
Pintu masjid induk ada tiga yang terbuat dari kayu jati. Di serambi tengah ada almari perpustakaan serta beduk. Serambi samping timur disangga oleh 12 tiang tanpa ada tembok. Sedang, lantai semua dari tegel serta dinding masjid setinggi 1,5 meter ditempeli tegel traso. Pada masjid ini, setiap Ahad pagi ada pengajian umum dengan menyebut ustadz yang populer di Yogyakarta.