Masjid Sultan Riau
Masjid Sultan Riau atau lebih populer dengan nama “Masjid Pulau Penyengat” ini adalah satu diantara bangunan peninggalan dari masa keemasan kesultanan Riau di Pulau Penyengat. Sampai sekarang ini bangunan yang mempunyai riwayat tingi itu masih tertangani dengan benar-benar baik.
Masjid ini terkadang disebutkan dengan “Masjid Putih Telur”, sebab memang bahan yang dipakai untuk membuat masjid ini sebelumnya didominasi oleh putih telur jadi perekatnya.
Bila kita ingin berkunjung ke Masjid Sultan Riau, kita dapat meraihnya memakai perahu motor dari Dermaga Sri Bintan Indrapura Kota Tanjung Pinang, ke lokasi Cagar Budaya Pulau Penyengat. Sebab terletak ada di pinggir laut, tidaklah heran bila ke-2 wisata religius serta keindahan alam bisa sekaligus juga di nikmati bila berkunjung ke Masjid Sultan Riau ini.
Riwayat Masjid Sultan Riau
Masjid Sultan Riau Pulau Penyengat ini benar-benar sangat populer dengan panggilan Masjid Putih Telur, sebab memang pada proses pembangunan masjid ini, banyak putih telur yang jadikan kombinasi spesial untuk bahan material bangunannya. Ini berlangsung sebab suplai telur yang berada di Pulau Penyengat itu benar-benar melonjak, hingga banyak telur yang tidak dikonsumsi jadikan jadi kombinasi material bangunan dengan keinginan supaya bangunan yang dibuat lebih kuat dan bertahan lama.
Sebelumnya, Pulau Penyengat adalah satu Mahar untuk pernikahan di antara Raja Mahmudsyah serta Engku Putri pada tahun 1805. Selanjutnya saat itu telah berdiri satu surau yang selanjutnya dibangun lagi oleh Sultan Mahmudsyah jadi satu masjid yang bisa kita lihat sampai sekarang ini.
Masjid ini selanjutnya alami satu perbaikan serta pelebaran besar yang berlangsung pada tahun 1832 Masehi, atas perintah dari Abdurrahman Muazham Shah , penguasa Riau yang menukar Raja Ja’far. Konon saat raja memerintah warga untuk bergotong royong membuat masjid ini, banyak yang bawa perbekalan terhitung makanan berbentuk telur. Tetapi, karena sangat jumlahnya telur yang tidak habis dikonsumsi, pada akhirnya beberapa pekerja masukkan banyak putih telur untuk jadikan kombinasi laporkan bangunan itu.
Bahkan juga, semenjak dikerjakan perbaikan besar pada tahun 1832, dengan pembangunan berbentuk beton di hampir keseluruhan bangunannya, belum pernah berlangsung satu perbaikan sampai sekarang. Berarti, usia bangunan yang sekarang ini tetap berdiri kuat hampir 200 tahun lamanya tanpa perbaikan sedikitpun.
Tidak hanya bangunannya yang masih asli serta indah, dan dapat dibuktikan jika pencampuran putih telur untuk bangunannya membuat keseluruhan bangunan jadi awet, ada kekhasan lain yang dipunyai masjid ini, yakni mempunyai dua mushaf Al-Qur’an tulisan tangan yang telah berusia lebih dari 150 tahun. Mushaf itu adalah mushaf yang dicatat oleh Abdurrahman Stambul, satu diantara Putera Riau Pulau Penyengat yang dicatat pada tahun 1867.
Lalu, ada 1 mushaf tulisan tangan yang lebih tua yakni mushaf tulisan Abdullah Al Bugisi yang dibikin pada tahun 1752. Tetapi, mushaf yang satu ini tidak sering dipamerkan ke publik, sebab umur yang sangatlah tua, dan kertas yang dipakai banyak yang ringkih.
Arsitektur Masjid Sultan Riau
Pada bangunan masjid ini ada seputar 13 kubah bentuk bawang yang formasinya beragam. Empat pilar berbentuk beton ikut ditambah lagi di ruangan penting sholat jadi penyangga atap. Dibuat juga 4 menara yang ditempatkan di ke-empat pelosok masjid yang masing-masing mempunyai ketinggian sampai 19 meter.
Masjid yang sekarang ini jadi hanya satu peninggalan Kerajaan Riau-Lingga ini mempunyai ukuran keseluruhan bangunan 54 x 32 meter, sedang ukuran ruangan penting untuk sholat sebesar 29,3 x 19,5 meter.
Kekhasan design masjid ini ialah arsitekturnya benar-benar kental dengan bangunan dari India, sebab memang beberapa pekerja bangunannya adalah masyarakat india yang ada di Singapura. Di komplek masjid ini ada komplek pemakaman yang telah berumur tua, dan dibuat 2 rumah Sotoh, yang bisa dipakai oleh musafir untuk beristirahat sesaat.