Sejarah Masjid Agung Surakarta – Bangunan satu lantai di samping barat Alun-Alun Utara Keraton Surakarta ini bukan hanya merupakan tempat beribadah. Banyak pengunjung yang datang hanya untuk sekedar beristirahat di pelataran masjid ini. Angin yang bertiup menerobos ruangan kosong tawarkan kesegaran situasi buat mereka. Saban hari, dapat beberapa ribu orang menyambangi Masjid Agung Surakarta.
Kehadiran Masjid Agung Surakarta tidak dapat dilepaskan dari perjalanan panjang riwayat Keraton Kesunanan Surakarta Hadiningrat. Masjid Agung serta Keraton Kasunanan laksana pena serta tinta yang susah dipisahkan dalam tuliskan sisi catatan riwayat Islam di Indonesia. Pada riwayatnya, Masjid Agung Surakarta seperti pun keraton mempunyai ikatan historis dengan dinasti Mataram Islam.
Sejarah Masjid Agung Surakarta Saat Dinasti Mataraam
Sebelum Kasunanan Surakarta Hadiningrat mengukuhkan eksistensi saat beratus-ratus tahun, dinasti Mataram Islam telah dimulai dari Kotagede, Daerah Spesial Yogyakarta, sebelum 1625. Kerajaan yang beribu kota di Kotagede yang dipandang seperti cikal akan dinasti Mataram Islam itu setelah itu dipindahkan ke Pleret (1625-1677). Pemberontakan Trunajaya memaksa raja mengalihkan kembali pusat pemerintahan dari Pleret ke Kartasura (1677-1745). Kembali lagi, ibu kota Keraton Kartasura pun kudu diarahkan ke Surakarta karena pecah momen Geger Pecina. Keraton Surakarta mulai dibuat tahun 1745, serta keberadaannya masih tetap dapat kita temui sampai saat ini.
Walau seringkali alami kepindahan, kehadiran masjid tetap bisa didapati di seputar ibu kota kerajaan. Perihal ini jelas tunjukkan jika masjid bukan perihal sepele dalam Dinasti Mataram Islam. Kata masjid sendiri, datang dari bahasa Arab. Di kelompok beberapa orang yang beragama digunakan kata Arab masjid, tapi ucapannya dalam bahasa daerah di Indonesia alami dikit pergantian.
Corak dan Arsitektur Masjid Agung Surakarta
Corak Masjid Agung di Surakarta pun di pengaruhi oleh masjid usang yang didapati pada trah Mataram Islam. Di buku Beberapa Studi tentang Riwayat Islam di Indonesia Awal Era XX, G. F. Pjiper menulis jika penganut agama Islam di Indonesia bangun masjid dengan corak yang ciri khas, begitu berlainan dengan corak masjid di negara lainnya. Pjiper menyangka, corak ciri khas masjid Indonesia itu tumbuh pertama kali di Pulau Jawa. Oleh karena itu dipandang pas menyebutkan corak ciri khas itu dengan panggilan corak masjid Jawa.
Masjid kuno di tanah Jawa sebenarnya berjalin berkelindan dengan kebutuhan penguasa lokal yang berkeinginan membumikan Islam di wilayahnya, dan sisi dari elemen simpatisan susunan kota kerajaan bernapaskan Islam. Tidak ayal, dalam kerangka kerajaan lokal Jawa, masjid bukan hanya fasilitas beribadah, akan tetapi sisi dari pusaka, termasuk juga Masjid Agung di Surakarta yang dibuat pada saat kekuasaan Paku Buwana II (1745-1749) itu.
Diboyong Dari Kartasura
Riwayat Masjid Agung Surakarta tidak dapat dipisahkan dari perpindahan Keraton Kartasura ke Surakarta pada 17 Februari 1745 oleh Paku Buwana II. Perpindahan istana dari Kartasura itu adalah imbas dari momen Geger Pacina yang pecah tahun 1743.
Geger Pacina ialah perang hebat yang dipacu pembantaian etnis Tionghoa di Batavia. Beberapa orang Tionghoa yang selamat dari tragedi itu melarikan diri serta masuk dengan komune mereka di Jawa Tengah. Mereka lantas menyerang simbol-simbol kekuasaan kompeni serta beberapa sekutunya, termasuk juga mengakibatkan kerusakan loji kompeni di Kartasura. Nasib apes menerpa istana Kartasura yang ikut jadi tujuan amuk masyarakat Tionghoa serta sekutu pribuminya.
Pemberontak sukses menempati ibu kota kerajaan. Paku Buwana II yang saat itu duduk di tampuk kekuasaan sangat terpaksa selamatkan diri dengan disertai beberapa prajurit VOC. Dikabarkan dalam Babad Tanah Jawi jika rombongan itu keluar dari keraton dengan ambedhah bata, ke arah Sedahrama, serta menyingkir ke Ponorogo. Di pengungsian itu raja menghimpun kembali beberapa prajurit untuk menghinpun kemampuan. Selain itu, toewan Hohendorff dibarengi seseorang pegawai VOC pergi ke Semarang untuk minta bala pertolongan. Akan tetapi, sebab VOC pun repot menjaga diri jadi Paku Buwana lantas minta pertolongan pada Cakraningrat IV di Madura.
Masa Peperangan Dengan VOC
Bulan Desember 1742, Cakraningrat IV bersama dengan pasukannya sukses memukul mundur pemberontak, serta menempati Keraton Kartasura. VOC lantas membujuknya supaya bersedia kembalikan keraton pada Sunan, serta mereka juga ingin tinggalkan Kartasura. Paku Buwana II masuk kembali pada istananya tanggal 21 Desember 1742, sesudah ketertiban dan keamanan kerajaan betul-betul di rasa sembuh. Dalam keyakinan kosmologi Jawa, seperti diutarakan ahli riwayat Williem Remmelink, keraton yang sempat diduduki oleh musuh dipercaya sudah kehilangan wahyu serta harus dipindahkan ke tempat lain yang dipandang masih tetap murni. Kejadian seperti ini bukan perihal baru dalam kebiasaan dinasti Mataram Islam. Dahsyatnya pemberontak Trunajaya tahun 1674 yang mengakibatkan hancurnya ibu kota kerajaan di Pleret pun disudahi dengan langkah sama.
Seperti pendahulunya, Paku Buwana II akan memutuskan mengalihkan Keraton Kartasura. Empat tokoh dilibatkannya memastikan tempat keraton baru, mereka ialah sang patih Pangeran Pringgalaya, adipati Puspanagara, Tumenggung Hanggawangsa, serta komandan pasukan Belanda J.A.B. van Hohendorff. Tiga calon tempat diserahkan pada Paku Buwana II, yakni Kadipala, Sala serta Talawangi (Bekonang).
Talawangi selekasnya dicoret dari mengingat di desa itu banyak penganut agama Buddha. Dalam hubungan program islamisasi yang disebut tanggung jawab raja Mataram Islam, muncul kecemasan tempat keraton di Bekonang selanjutnya mengubah keyakinan penduduk dari agama Islam jadi Buddha hingga program islamisasi akan terganggu. Dipengujung perbincangan, Sunan menjatuhkan pilihan pada Desa Sala.
Setelah Perang Dengan VOC
Walau keadaan geografis serta topografinya desa yang sekarang diketahui menjadi Kampung Kedung Lumbu itu kurang memberi dukungan karena dipenuhi rawa-rawa, Sala dipandang sudah maju mengingat tempatnya ada di bibir Bengawan yang jadi urat nadi perdagangan jalan air pada saat itu. Harapannya, nantinya Sala akan memberi dukungan perkembangan keraton dengan sumber pemasukan penting melalui bidang pajak dari kegiatan usaha.
Tidak hanya prospek itu, sejarawan Kuntowijoyo pun menyangka penentuan Sala menjadi calon ibu kota alternatif Kartasura itu dilandasi juga pemikiran yang berbentuk sakral-magis. Menurut dia, penentuan tempat keraton di dekat Kedung Lumbu condong di pengaruhi pemikiran irasional sama dengan keyakinan Jawa kuno, yaitu tempat di seputar tempuran atau tempat berjumpa duasungai seperti Sala yang diapit Kali Pepe dengan Bengawan diakui berkapasitas magis tinggi. Sekejap sesudah ditetapkannya Sala menjadi tempat istana yang anyar, raja mengerahkan abdidalem untuk menumpuk daerah cekung berawa itu. Sebelumnya, pembangunan keraton berbentuk simpel sebab kuatnya tekanan geser mengingat Keraton Kartasura dipandang tidak kembali wajar ditempati. Pengaturan kotanya ikuti pengaturan Kartasura. Bahkan juga, keraton menurut Darsiti Soeratman dalam desertasinya berjudul Kehidupan Dunia Kraton Surakarta 1893-1939, pun dibuat mengacu atau mutrani Keraton Kartasura.
Ibukota Pindah Ke Solo
Demikian abdidalem yang bangun keraton melapor pada Sinuwun jika pekerjaan selesai, Paku Buwana II memberikan instruksi perpindahan sesuai dengan kebiasaan beberapa raja terdahulu mengalihkan keraton mereka. Ibu kota dipindahkan melalui prosesi kirab agung. Prosesi perpindahan keraton dari Kartasura ke Sala dikerjakan saat pagi hari Rabu 17 Sura Je 1670 atau 17 Februari 1745. Seperti dijelaskan dalam babad, „Sigra jengkar karena sangat Kartawani, ngalih kadhaton mring Dhusun Sala, kebun sawadyabalane, busekan sapraja gung, pinengetan angkate nguni, anuju ari Buda, endjing wancinipun, wimbaning lek ping saptawelas, Sure Edje Kombuling puja kapyarsi, ing nata kang sangkala.‰ (Selekasnya tinggalkan Kartasura, geser keraton ke desa Sala, komplet beberapa prajurit, penuhi kerajaan, keberangkatannya diperingati, di hari Rabu pagi, tanggal 17 bulan Sura tahun Je 1670, raja pada saat pergi.)
Ibu kota dipindahkan dengan prosesi kirab agung. Keberangkatan dari Kartasura dikerjakan saat pagi hari Rabu 17 Suro Je 1670. Seperti dijelaskan dalam Majalah Djawa, tahun ke-19, Mei 1939 yang mencuplik Serat Babad Kedhaton, Sigra jengkar karena sangat Kartawani, ngalih kadhaton mring Dhusun Sala, kebut sawadya balane, busekan sapraja gung, pinengetan hangkate huni, hanuju hari Buda henjing wancinipun, wimbaning lek ping Sapta Wlas, Sura Heje kombuling Pudya Kapyarsi, hing Nata kang sangkala.”
Kedatangan di Solo, Jawa Tengah
Setibanya mereka di Sala, seperti dicatat Raden Koesoemadi dalam artikel Soerakarta Adiningrat 200 Jaar di Majalah Djawa, bangsal pengrawit dipasang di Pagelaran yang sudah disediakan beberapa abdidalem. Paku Buwana II ke arah singgasana, sesaat panglima dan beberapa perwira berdiri di samping kanannya, sedang beberapa serdadu berbaris di alun-alun dalam jejeran panjang. Dalam upacara itu, Paku Buwana II sah menamai Desa Sala dengan panggilan Surakarta Hadiningrat. Titah sang nata itu tidak terbantah sampai saat ini.
Berdasar pada ingatan kolektif beberapa masyarakat Kartasura serta Surakarta mengenai sejarah Masjid Agung Surakarta seperti diambil arkeolog Inajati Adrisijanti, bahan bangunan Masjid Agung Kartasura turut dibawa geser ke Surakarta dalam serangkaian momen spesial itu. Sesuai dengan kebiasaan Islam, terlibat tiap-tiap orang dalam pembangunan masjid memang tidak bisa diacuhkan, bahkan juga walau masjid itu dipindahkan. Sebenarnya, sekarang Masjid Agung Keraton Kartasura tak akan bisa didapati. Tempat sisa Masjid Agung Kartasura di samping barat alun-alun tinggal diketahui masyarakat seputar lewat toponimi atau nama tempat yang tersisa dalam kebiasaan lisan masyarakat ditempat.
Itu tadi adalah secuplik sejarah Masjid Agung Surakarta, bagi Anda pecinta sejarah baiknya tidak kehilangan cerita menarik mengenai sejarah Masjid Agung Surakarta ini.
Jual Kubah Masjid Surakarta – Qoobah PT. Anugerah Kubah Indonesia
PT. Anugerah Kubah Indonesia merupakan Kontraktor Kubah Masjid berpengalaman, terpercaya, dan berkualitas. Kami sudah dipercaya untuk mengerjakan ribuan proyek pembangunan kubah masjid di seluruh Indonesia bahkan hingga ke Asia Tenggara. Seperti di pondok pesantren, universitas, madrasah, sekolah, kantor perusahaan swasta, kantor pemerintahan, dan kantor BUMN.
Qoobah juga melayani Jual Kubah Masjid Terbaik dan berkualitas premium dengan berbagai macam pilihan produk diantaranya adalah Kubah Masjid Enamel, Kubah Masjid Galvalum, dan Kubah Masjid Stainless Gold. Masing-masing produk kubah masjid tersebut memiliki keunggulan masing-masing sesuai dengan keinginan kustomer.
Kami berkomitmen untuk menjadi Produsen Kubah Masjid Terbaik dan Terbesar se-Asia Tenggara dengan dibuktikan oleh produk kubah masjid kami yang berkualitas premium dan dengan pelayanan yang terbaik. Percayakan kubah masjid Anda bersama kami, PT. Anugerah Kubah Indonesia.
Baca Juga : Cari Produsen Kubah Masjid Terbaik? Ini Ciri-cirinya!
Klik tombol dibawah jika ingin berkonsultasi mengenai kebutuhan pembangunan kubah masjid. Kami siap membantu perencanaan kubah masjid Anda dengan sepenuh hati secara gratis. Dapatkan juga penawaran spesial dari kami, bonus alat penangkal petir dan lampu sorot.